Tulisan hitam diatas
putih “DILARANG PARKIR DISINI” terpampang jelas sebagai kalimat perintah rambu
rambu peringatan yang dibuat satpam ITB agar tidak memarkirkan kendaraan di
tempat tersebut. Tulisan itu bahkan tidak digubris dan hanya sebagai angin lalu
oleh pemilik kendaraan yang “sengaja” memarkirkan kendaraannya. Susunan parkir
kendaraan bermotor pun kelihatan tidak rapi, tak terlihat petugas parkir yang
bertanggung jawab melihat keadaan tersebut. Apakah kampus ITB mulai kekurangan
lahan parkir sehingga lahan yang dilarang pun “terpaksa” dijadikan lahan parkir
bagi para mahasiswa yang “kebingungan” mencari lahan parkir yang kosong.
Padahal kampus ITB punya 3 lahan parkir yang disediakan untuk parkir mahasiswanya,
yaitu Parkir Sipil, Parkir Gerbang Belakang, dan Parkir Seni Rupa yang
kapasitasnya pun cukup besar untuk lahan parkir umum.
Lahan parkir kita mulai
kehilangan roh untuk saling menghargai kendaraan yang diparkir satu sama lain,
semuanya asal parkir, tidak peduli kendaraan yang berada di kanan dan kiri, tak
peduli kendaraan mana yang datang duluan, setiap ada celah, geser kanan, geser
kiri, parkirkan kendaraan seadanya, yang penting masuk, semuanya pengen jadi
bos, tak ada yang mau mengalah, apalagi membetulkan posisi parkir kendaraan
orang lain. Lahan parkir ini hanya menjadi saksi bisu keberhasilan mahasiswa
yang datang dan pergi menitipkan sepeda motor untuk menuntut ilmu. Seorang
mahasiswa yang melakukan tugas mulia untuk mengabdi kepada bangsa dan
negara. Dulu lahan parkir ini sangat
sepi,sepi sekali, sekarang lahan parkir ini sudah tidak muat lagi menampung
semua kendaraan para mahasiswa yang datang dan pergi. Bahkan ia tidak tega menolak kendaraan yang menunggu antri
diluar.
Ketika kita kita
kehilangan rohnya, mungkin kita juga kehilangan penjaga rohnya si baju orange. Siapa yang tidak kenal baju
berwarna orange dengan peluit merdu bernadakan , “Yak Kanan Bos, kiri dikit,
Stop Bos.” Suara itu pun sudah tidak asing lagi kita dengar di setiap pagi
ketika kita memarkirkan sepeda motor untuk kuliah, suara itupun juga dapat kita
dengar ketika kita membeli makan di warung pecel lele Simpang Dago, Bandung.
Baju berwarna orange
itu adalah pakaian dinas kebanggan sebagai tukang parkir. Ditemani dengan tas
mini di depan perut untuk kantong uang, tukang parkir pun siap siaga menjaga
keamanan kendaraan kita. Sudah jarang pakaian identitas itu kita temui
sekarang di kota kota besar, mayoritas
sekarang parkir sudah menggunakan sistem SIS. Parkir sekarang sudah modern,
parkir tradisional sudah tidak jaman dengan keadaan sekarang. Sekarang sudah
jamannya tehknologi. Tinggal pencet tombol, maka keluar secarik kertas sebagai
bukti masuknya kendaraan yang parkir.
Sistem parkir pun sudah
berubah. Seiring dengan kemajuan zaman, sistem parkir yang berbasiskan manusia
diganti dengan kecanggihan tehknologi. Sekarang parkir sudah tak pandang bulu,
tak ada yang namanya parkir gratis. Mesin tidak peduli pengendara memiliki uang
atau tidak, mau tua, mau miskin, pelajar atau para dosen pun dilayani tanpa
pandang bulu. Peraturannya ketika tombol tiket ditekan, maka pengendara yang
parkir pun minimal harus membayar Rp 1.000,00 untuk sepeda motor dan Rp 2.000,00
untuk mobil walaupun cuma 5 menit saja parkirmya.
Parkir pun semakin mahal, harganya sekarang
dipatok setiap kendaraan dihitung per jam. Dulu parkir kendaraan pun bebas,
dimanapun parkir sepeda motor ya Rp 1000,00. Mau setengah hari, 24 jam, bahkan
kendaraan sampai menginap 2 hari 2 malam
pun biayanya sama, cuma Rp 1000,00. Sekarang parkir punya tarif sendiri
– sendiri di setiap tempat, tempat parkir yang satu dengan yang lainnya bisa
saja harganya berbeda beda tergantung tingkat keramaiannya. Setiap mall beda
tarif parkirnya, tidak ada keseragaman parkir yang dibuat standarisasi untuk
setiap daerah. Kadang kadang parkir pun dikuasai sekelompok orang untuk
kepentingan tertentu. Bahkan harganya
bisa berkali kali lipat dari harga normal, seperti yang terjadi ketika PRJ (
Pekan Raya Jakarta ), untuk mobil bisa mencapai Rp 15.000,00 dan sepeda motor
mencapai Rp 8.000,00 sesuai dikutip panitia event Jakarta Fair 2012.
Lahan parkir pun mulai
membisu, tak protes, dan pasrah mendapati lahannya berantakan ditempati motor
yang parkir asal – asalan karena sempitnya lahan parkir. Lahan parkir mulai
kehilangan ruhnya yang mulai sempit karena banyaknya kendaraan yang tidak
diimbangi dengan pertambahan luasnya lahan parkir. Kendaraan sepeda motor pun
juga pasrah ditinggal pemiliknya yang buru buru meninggalkannya. Ia hanya
menunggu petugas parkir yang entah kapan datangnya untuk membenahi posisinya.
Parkir adalah suatu
fasilitas masyarakat yang mungkin dianggap remeh tapi tanpa disadari manfaatnya
sangat besar bagi masyarakat. Dapatkah anda membayangkan bahwa ketika kita
memiliki kendaraan tetapi tidak ada lahan parkirnya ? Apa yang akan terjadi ?
Macet ? Kendaraan mobilisasi tiap waktu ? Tidak ada tempat “peristirahatan”
sementara kendaraan yang bisa kita gunakan apabila kita ingin menempuh tempat
yang kita tuju dengan berjalan kaki. Lahan parkir jangan terus diadakan, bahkan
ditambah luasnya, itu hanya menambah fasilitas bagi kendaraan untuk bertambah
juga jumlahnya. Sudah saatnya kita sebagai mahasiswa, sebagai agen perubahan
masyarakat menyadari untuk mengurangi penggunaan jumlah kendaraan yang jaraknya
relatif dekat. Memberdayakan transportasi umum yang layak, melakukan kampanye
tentang lahan parkir yang mulai menipis. Melakukan sosialisasi peduli
lingkungan. Banyak yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan lahan parkir
kita. Mulai dari diri kita sendiri dan saat ini yuk kita berdayakan untuk
mengurangi kendaraan bermotor ke kampus. ^^ (apw)
No comments:
Post a Comment