Some Text

Assalamualaikum wr.wb :D

Thursday, June 16, 2011

Tanpa Amplop, Hatiku masih ada untuk 12 Peri Kecil Padalarang

Oleh : Arif Pandu Winarta

Hari itu terasa panas, terik matahari mengalun menjadi satu, hawa panas yang diiringi dengan angin lembab yang tidak dapat dilukiskan oleh rumus yang beresonansi menari dengan harmoni di pelukan fatamorgana, aku sms Abe, anak UNPAD manajemen 2007 untuk survey lokasi ke sebuah tempat yang kami kira akan mewah, service yang memuaskan, dan jamuan makan siang yang enak, lamunan kami berdua. Setelah mencari di google maps kami menemukan jalan ke arah tempat yang kami cari, Jalan Purwakarta no 95 Padalarang, Bandung. Jauhnya bukan main, apabila diukur tanpa melalui tol, di gogle jarak tempuhnya bisa mencapai 4 jam perjalanan, hati ini tak menyangka karena kami adalah anak perantauan yang jarang pergi jauh dengan waktu yang lama, setelah kami tanya tanya dengan orang yang berpengalaman, jarak tempuhnya paling dengan motor kira kira satu setengah jam lah, Mas Iman gendut salah satu anak Asrama Bumi Ganesha membantuku untuk mencari arah jalan ke Padalarang, akupun panik, batin ini rasanya mengeluh, emosi ini rasanya pudar akan sebuah tempat yang dipilih begitu jauhnya, tapi apalah guna mengeluh,tak akan merubah keadaan, yang bisa kita lakukan saat ini adalah bergerak ke depan. Dalam perjalanan saya pun menghapal jalan, setelah melewati Pastuer kamipun lanjut ke Gunung Batu. Mungkin teman – teman bisa melihat denah peta tersebut pada gambar berikut.

Setelah melalui perjalanan yang panjang dan mengikuti petunjuk teman yang ada di Bandung, kamipun mengikuti saran untuk mengikuti aangkot jurusan Cimahi – Padalarang, melewati Cimahi Mall, dan terjebak di jalur angkot, perjalanan kami seperti tanpa arah, debu dan pasir yang menari disco menemani kami di siang hari yang panas itu, sebuah kota yang sangat ramai, kami seperti sebuah bidak dalam permainan catur, sebuah satuan konstanta yang diabaikan nilainya karena terlalu kecil, banyak sekali kendaraan besar melewati jalan ini, jalan alternatif Padalarang – Bandung yang dilewati tanpa melalui jalan tol yang dipungut bayaran sebagai upah jasa, kamipun berhati hati, modal nekat dengan plat motor Yogyakarta kami lalui, melewati truk pasir dan mobil mewah yang belum bisa kami beli di usia muda, wuuuusshhh angin pun sepoi sepoi ketika kami berhadapan dengan sebuah mobil tangki Pertamina yang melewati di depan kami, dan kami tahu sedikit pun kami lengah atau kehabisan stamina taruhan kami adalah nyawa, nyawa seorang mahasiswa yang masih murah harganya.

Kamipun melewati daerah Cimahi, Kantornya begitu megah, banyak mobil dimana – mana, fasilitas yang lengkap pun mulai membayangi di area lamunan kami berdua, wah kantornya seperti apa ya Be? Tanyaku seiring perjalanan yang tak kunjung tiada akhirnya ini, setelah bertanya 3 kali, kalo mau ke daerah Purwakarta masih terus dek, nanti ada pertigaan Pasar belok saja ke kanan, dan ikuti arah jalan. Keringat demi keringat pun bercucuran. Hari pertama survey begitu terasa melelahkan, waktu sudah mulai tidak kenal kompromi seiring jam makan siang yang sudah lewat. Akhirnya depan kami adalah pasar dan jalan searah, tetapi kagetnya bukan main di depan polisi, tetapi jalan searah itu seperti bukan jalan searah tetapi tiba – tiba menjadi jalan 2 arah yang tak beraturan arahnya, motor, delman, angkot tak ada yang mau saling mengalah, mau mengeluh dengan pihak kepolisian tapi apalah daya kayaknya sudah menjadi sistem batu yang sudah mengakar, dan hal ini sepertinya sudah lama dibiarkan bertahun tahun, dilihat dari papan peringatan yang lusuh menjadi saksi bisu atas letihnya peringatan agar saling tertib, hati ini masih merasa tidak nyaman dengan kondisi yang seperti ini, macet dan serba salah, suasana yang pas untuk menggambarkan waktu itu. Akhirnya kami melihat sebuah papan itu, sebuah papan berwarna merah menghiasi tempat kami melakukan sebuah pengabdian yang membuat 12 peri kecil ini akan cerdas di kemudian harinya. Kita tak pernah tau kapan hidup kita akan berhenti. Tapi yg pasti, kita harus tau kapan kita "harus" berhenti untuk mengeluh

Apa yang kau rasakan teman ketika kau melihat ini untuk pertama kalinya? Kantor ini jauh dari kemewahan, sederhana dengan bangunan kecil dan tempat parkir motor yang kecil, setelah melihat cerita teman teman seperjuangan di 4 universitas dan tempat pelatihan yang begitu megah dengan sarana yang mewah membuat kau akan berpikir seratus delapan puluh derajat bahwa semua yang di dunia ini fana, sebuah tempat yang tak jauh dengan sebuah pasar di Padalarang ini membuat hati ini sadar dan terbuka bahwa apa yang kita bayangkan segala sesuatunya adalah tidak selalu hasilnya akan baik, kau juga harus memikirkan kondisi yang lain pula. 


Saya dan Abe terdiam sejenak, dan saya bilang Be, jalan kita panjang sembari tersenyum, sebuah perjalanan melewati pusat kota dilatari background stasiun Padalarang tempo doelo dibentangi sebuah sawah, gubug gubug berdiri dan ada peminta jalan di tengah jalan untuk meminta para sumbangan bagi para dermawan. Potret kemiskinan negara yang dulunya kaya dan ingin menjelma menjadi macan Asia. Tak sampai setengah perjalanan, jalanan pun macet, puluhan motor dan mobil pun kami selami satu persatu sebuah motor hangus terbakar bertabrakan dengan mobil tangki Pertamina, motor itu habis, kamipun terdiam sejenak dan terus melaju, semoga hal ini tidak terjadi dengan kami. Setelah kejadian itu saya hanya bisa tertidur lelap, benar benar nikmat rasa tidur siang setelah sekian lama menghabiskan waktu hanya untuk menambah kapasistansi diri. 

Hari Selasa adalah hari yang ditunggu, hari dimana kita akan bertemu dengan 12 peri kecil yang dinanti, jarak Padalarang Bandung pun kami tempuh hanya dengan sebuah motor, rencana demi rencana pun kita susun, modul modul itu kita buka bak diktat para mahasiswa. Kamipun melaju diantara bayang bayang kosong rasa gugup dan masih malunya kami untuk saling bertegur sapa, aliran angin ini menghantarkan kami untuk lebih cepat sampai, tikungan demi tikungan kami lalui dengan emosi batin yang meresonansi, rasa lelah yang menghampiri dan rasa kantuk yang sudah mulai mengintip di balik peraduan menggoda kami dengan genit untuk merebahkan badan, pegangan setirku pun masih stabil, debu, panas, asap, bahkan suara bising yang saling menyahut menganggu konsentrasiku, teriakan teriakan kemerdekaan sebuah sarana transportasi yang ingin sekali diservice membuat jalanan siang itu ricuh, ramai oleh mereka yang bisu menjadi saksi. 

Pukul 14.15 kamipun tiba di lokasi yang sudah ditentukan, kamipun disambut hangat oleh seorang yang mewakili di daerah tersebut, dan rombongan dari RT dan RW pun datang, mereka tampak antusias sekali, gembira, akupun merasakan luapan rasa kegembiraan mereka, hore, anak – anak Padalarang akhirnya kita berjumpa, anak – anak yang masih bau kencur dan begitu polos, anak anak yang mudah terpengaruh, hati ini tersentuh melihat mereka pertama, ada yang bersih, kumal, kucel, bahkan malu – malu, yang lucu ada pula yang kembar. Bahkan ada yang rambutnya di mohawk, gaya anak trend masa kini. Jujur tapi saya ingin sekali mengatakannya karyawan – karyawannya lucu dari gaya berkomunikasinya yang mulai panik, public speaking yang dibawah rata – rata, dan selalu salah menyebut nama Bapak Ketua RT dan sekretaris RW, akupun hanya tertawa dalam hati, parah tingkat tinggi, sebuah senyum licik dari otak – otak rendahan yang aku pikirkan, sambutan yang diberikan pihak karyawan membuatku bosan, kalo aku jadi anak kecil itu, aku pasti bilang mama, aku ingin pulang, tapi luarbiasa hal itu tidak terjadi. Mungkin anak – anak ini udah terbiasa bosannya menghadapi celetoh dan ungkapan ungkapan yang tidak harus mereka dengar di saat mereka tumbuh dan berkembang. 

Kamipun saling mengenal satu sama lain, awalnya kamipun saling malu – malu. Tanpa dikawal orang tua mereka berani belajar sendiri entah hidup apa yang sudah mereka jalani, hati ini harusnya gembira tapi malah trenyuh, pasti panjang kehidupan yang mereka jalani, kamipun memulai dengan bernyanyi, satu bait lagu gasing karena hanya papan tulis kecil sekali hampir ukuran A0 yang diberikan kami, fasilitas sederhana dengan karpet dan mereka pun berebutan untuk memilih kursi paling depan, semangat belajar yang luarbiasa, anak – anak dalam belajar yang mereka pikirkan adalah bagaimana menjadi yang terbaik sedangkan saat kita dewasa masihkan kita memikirkan hal itu ?

Jurus – jurus penjumlahan pun kita keluarkan metode berhitung yang paling cepat, ada anak anak yang sok menghitung cepat, akupun masih take it slow, tapi luarbiasanya anak itu baru akan naik kelas 4, sok yes bukan main, persis saat aku muda dulu, satu kata yang bisa aku ungkapkan untuk mereka hebat, tak ada yang bisa menandingi semangat anak muda seperti mereka untuk terus berkembang dan menonjolkan diri, semua berjalan sesuai dengan rencana, tapi itu tidak berjalan lama, ketika aku memutari ada anak yang tidak bisa berhitung padahal udah hampir naik kelas 3, badannya besar, ia nampak sedih, hati ini nampaknya tak kuat, ternyata ia satu kelas dengan adiknya.... ( bersambung )

No comments: